Semarang, 4 Mei 2018 –
PT Phapros, Tbk yang merupakan anak usaha dari PT Rajawali Nusantara
Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam melakukan efisiensi
energi. Komitmen Phapros untuk melakukan efisiensi energi salah satunya
diimplementasikan dalam penggunaan green chiller sebagai sistem
pendingin berbasis hidrokarbon yang ramah lingkungan.
Direktur Utama Phapros, Barokah Sri
Utami (Emmy) mengatakan bahwa Phapros merupakan industr pertama yang
mengimplementasikan teknologi ini. Ia juga menjelaskan bahwa green
chiller memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah menurunkan biaya
operasional karena green chiller menggunakan teknologi yang lebih
efisien.
“Instalasi chiller hidrokarbon ini juga
dapat menghemat tagihan listrik lebih dari 20% dari sistem pendingin
yang saat ini digunakan. Investasi akan semakin terprediksi sesuai
dengan kenaikan harga listrik dan tentu saja hal ini bisa meningkatkan
citra perusahaan melalui implementasi teknologi terbarukan dan ramah
lingkungan, serta iklim,” ujarnya di sela – sela peresmian teknologi
green chiller di pabrik Phapros di kawasan Simongan, Semarang, Jawa
Tengah.
Dalam implementasi green chiller lokal
berbasis hidrokarbon ini, Phapros turut serta menggandeng Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral serta Deutsche Gesellschaft für
Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.
Direktur Utama PT RNI
(Persero), Didik Prasetyo juga turut mengapresiasi langkah Phapros untuk
mengimplementasikan green chiller yang juga merupakan bentuk hilirisasi
riset.
“Kerjasama ini adalah representasi dari
konsep ABCG, dimana Akademisi diwakili oleh UNDIP, Politeknik Bandung
dan Politeknik Bali, Bisnis diwakili oleh Pertamina dan Phapros,
Community diwakili oleh ASHRAE (The American Society of Heating,
Refrigerating and Air-Conditioning Engineers) dan Government diwakili
oleh Kementerian ESDM dibantu oleh GIZ,” jelas Didik.
Direktur Jenderal Energi Baru,
Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana, mengatakan bahwa hal yang menarik
dalam mengembangkan refrigeran hidrokarbon adalah dari sisi isu
lingkungan.
”Ada tiga hal yang membuat kita tertarik
untuk mengembangkan refrigeran hidrokarbon. Yang pertama ketersediaan
bahan baku yang kita punya. Kedua dari sisi lingkungan, melihat bahwa
dulu kita menggunakan Freon yang tidak ramah lingkungan dan kemudian
kita ganti dengan yang lebih natural yaitu hidrokarbon.
Ketiga, bahwa industri dalam negeri juga
sudah bisa memproduksinya. Artinya kalau ini dikembangkan maka akan
menciptakan lapangan kerja baru dan pada saatnya akan meningkatkan
perekonomian nasional,” paparnya.
Teknologi chiller hidrokarbon ini bisa
menekan penggunaan energi karena memiliki konduktivitas panas yang 50%
lebih efisien dibandingkan dengan refrigeran fluorocarbon, serta
beroperasi dengan tekanan kerja yang 20% lebih rendah dibandingkan
dengan refrigeran fluorocarbon. Sehingga dapat mengurangi konsumsi
energi antara 17% - 30% dibandingkan dengan penggunaan refrigeran
fluorocarbon.
Sebagai perbandingan, Daya input chiller
lama adalah 151 kW dengan penggunaan listrik sebesar 545.387 kW/tahun
dan biaya listrik per tahun mencapai lebih dari Rp 600 juta/tahun.
Sementara dengan green chiller untuk menghasilkan efek pendinginan yang
sama, hanya dibutuhkan 42 kW dengan penggunaan listrik 151.078 kWh/tahun
dan biaya listrik sebesar Rp 160 juta/tahun.
Chiller hidrokarbon pertama mulai
dipasang di pabrik Phapros pada akhir tahun 2017, menyusul kemudian
chiller kedua di bulan Januari 2018. Chiller tersebut digunakan untuk
mendinginkan berbagai ruangan untuk produksi obat, penyimpanan dan
pembiakan bakteri di gedung produksi PT. Phapros Tbk di Semarang, Jawa
Tengah. Chiller tersebut dipasang untuk mengganti 2 unit lama yang
menggunakan refrigeran tetrafluoroethane (R134a) yang memiliki potensi
pemanasan global cukup tinggi.